TMMD Dilaksanakan di Desa Bendungan
TNI Manunggal Masuk Desa (TMD) Imbangan Ke-80 di Kulon Progo dilaksanakan di Desa Bendungan, Kecamatan Wates selama 21 hari efektif mulai 21 Mei hingga 10 Juni mendatang. Upacara pembukaan digelar Rabu (21/5) di lapangan Bendungan dengan inspektur upacara Dandim 0731 Kulon Progo Letkol Inf I Made Sukarya, dan dihadiri oleh Bupati H Toyo Santoso Dipo, Wabup Drs H Mulyono, Ketua DPRD Drs H Kasdiyono, Muspida dan segnap pejabat pemkab.
Menurut Perwira Seksi Teritorial (Pasiter) Kodim Kulon Progo Kapten Inf Sutoyo, dalam TMMD itu untuk kegiatan fisik akan dilakukan perkerasan jalan 657 x 3 meter, pembangunan talud sepnjang 451 m, gorong-gorong 1 unit dan gardu ronda 1 unit. Selain itu akan dikerjakan penyempurnaan gardu rondan dan masjid masing-masing 1 unit, katanya.
Sedang untuk kegiatan nonfisik akan dilakukan penyuluhan bela negara dan kesadaran bernegara, serta penyuluhan ketrampilan teknis. “Seluruh pelaksanaan kegiatan akan didukung oleh anggota Kodim, Polres dan Sat Radar Congot sebanyak 42 dan akan dibantu oleh PNS dan masyarakat setempat sebanyak 50 orang perhari, terangnya.
Ditambahkan, kegiatan direncanakan akan menghabiskan biaya sebesar Rp. 135 juta. Yang berasal dari APBD Provinsi DIY sebesar Rp. 30 juta, APBD Kulon Progo Rp. 100 juta dan swadaya masyarakat rp. 5 juta. Di samping itu, akan dibantu oleh Kantor Kesbang Linmas Kulon Progo berupa 100 zak semen, ujar Sutoyo.
Dalam amanatnya I Made Sukarya membacakan sambutan tertulis KSAD Jendral TNI Agustadi Sasongko Purnomo antara lain menyatakan, proses perncanaan TMMD dilakukan dengan bottom up planning atau perencanaan dari bawah. Yaitu melalui musyawarah di tingkat desa atau rembug desa kemudian ke tingkat di atasnya sampai menjadi program TMMD. “Proses ini dilakukan agar program TMMD sesuai dengan permasalahan yang dihadapi dan sesuai dengan kemauan masyarakat di pedesaan,” katanya.
Untuk kegiatan fisik, tambahnya, dilakukan pembangunan dan perbaikan infrastruktur untuk menunjang mobilitas masyarakat yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan kesejahteraan. Sedang program nonfisik diorientasikan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat dalam berbagai aspek termasuk kesadaran bernegara, tandas KSAD.
28 April, 2008
TMMD Dilaksanakan di Desa Bendungan
TNI Manunggal Masuk Desa (TMD) Imbangan Ke-80 di Kulon Progo dilaksanakan di Desa Bendungan, Kecamatan Wates selama 21 hari efektif mulai 21 Mei hingga 10 Juni mendatang. Upacara pembukaan digelar Rabu (21/5) di lapangan Bendungan dengan inspektur upacara Dandim 0731 Kulon Progo Letkol Inf I Made Sukarya, dan dihadiri oleh Bupati H Toyo Santoso Dipo, Wabup Drs H Mulyono, Ketua DPRD Drs H Kasdiyono, Muspida dan segnap pejabat pemkab.
Menurut Perwira Seksi Teritorial (Pasiter) Kodim Kulon Progo Kapten Inf Sutoyo, dalam TMMD itu untuk kegiatan fisik akan dilakukan perkerasan jalan 657 x 3 meter, pembangunan talud sepnjang 451 m, gorong-gorong 1 unit dan gardu ronda 1 unit. Selain itu akan dikerjakan penyempurnaan gardu rondan dan masjid masing-masing 1 unit, katanya.
Sedang untuk kegiatan nonfisik akan dilakukan penyuluhan bela negara dan kesadaran bernegara, serta penyuluhan ketrampilan teknis. “Seluruh pelaksanaan kegiatan akan didukung oleh anggota Kodim, Polres dan Sat Radar Congot sebanyak 42 dan akan dibantu oleh PNS dan masyarakat setempat sebanyak 50 orang perhari, terangnya.
Ditambahkan, kegiatan direncanakan akan menghabiskan biaya sebesar Rp. 135 juta. Yang berasal dari APBD Provinsi DIY sebesar Rp. 30 juta, APBD Kulon Progo Rp. 100 juta dan swadaya masyarakat rp. 5 juta. Di samping itu, akan dibantu oleh Kantor Kesbang Linmas Kulon Progo berupa 100 zak semen, ujar Sutoyo.
Dalam amanatnya I Made Sukarya membacakan sambutan tertulis KSAD Jendral TNI Agustadi Sasongko Purnomo antara lain menyatakan, proses perncanaan TMMD dilakukan dengan bottom up planning atau perencanaan dari bawah. Yaitu melalui musyawarah di tingkat desa atau rembug desa kemudian ke tingkat di atasnya sampai menjadi program TMMD. “Proses ini dilakukan agar program TMMD sesuai dengan permasalahan yang dihadapi dan sesuai dengan kemauan masyarakat di pedesaan,” katanya.
Untuk kegiatan fisik, tambahnya, dilakukan pembangunan dan perbaikan infrastruktur untuk menunjang mobilitas masyarakat yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan kesejahteraan. Sedang program nonfisik diorientasikan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat dalam berbagai aspek termasuk kesadaran bernegara, tandas KSAD.
TNI Manunggal Masuk Desa (TMD) Imbangan Ke-80 di Kulon Progo dilaksanakan di Desa Bendungan, Kecamatan Wates selama 21 hari efektif mulai 21 Mei hingga 10 Juni mendatang. Upacara pembukaan digelar Rabu (21/5) di lapangan Bendungan dengan inspektur upacara Dandim 0731 Kulon Progo Letkol Inf I Made Sukarya, dan dihadiri oleh Bupati H Toyo Santoso Dipo, Wabup Drs H Mulyono, Ketua DPRD Drs H Kasdiyono, Muspida dan segnap pejabat pemkab.
Menurut Perwira Seksi Teritorial (Pasiter) Kodim Kulon Progo Kapten Inf Sutoyo, dalam TMMD itu untuk kegiatan fisik akan dilakukan perkerasan jalan 657 x 3 meter, pembangunan talud sepnjang 451 m, gorong-gorong 1 unit dan gardu ronda 1 unit. Selain itu akan dikerjakan penyempurnaan gardu rondan dan masjid masing-masing 1 unit, katanya.
Sedang untuk kegiatan nonfisik akan dilakukan penyuluhan bela negara dan kesadaran bernegara, serta penyuluhan ketrampilan teknis. “Seluruh pelaksanaan kegiatan akan didukung oleh anggota Kodim, Polres dan Sat Radar Congot sebanyak 42 dan akan dibantu oleh PNS dan masyarakat setempat sebanyak 50 orang perhari, terangnya.
Ditambahkan, kegiatan direncanakan akan menghabiskan biaya sebesar Rp. 135 juta. Yang berasal dari APBD Provinsi DIY sebesar Rp. 30 juta, APBD Kulon Progo Rp. 100 juta dan swadaya masyarakat rp. 5 juta. Di samping itu, akan dibantu oleh Kantor Kesbang Linmas Kulon Progo berupa 100 zak semen, ujar Sutoyo.
Dalam amanatnya I Made Sukarya membacakan sambutan tertulis KSAD Jendral TNI Agustadi Sasongko Purnomo antara lain menyatakan, proses perncanaan TMMD dilakukan dengan bottom up planning atau perencanaan dari bawah. Yaitu melalui musyawarah di tingkat desa atau rembug desa kemudian ke tingkat di atasnya sampai menjadi program TMMD. “Proses ini dilakukan agar program TMMD sesuai dengan permasalahan yang dihadapi dan sesuai dengan kemauan masyarakat di pedesaan,” katanya.
Untuk kegiatan fisik, tambahnya, dilakukan pembangunan dan perbaikan infrastruktur untuk menunjang mobilitas masyarakat yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan kesejahteraan. Sedang program nonfisik diorientasikan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat dalam berbagai aspek termasuk kesadaran bernegara, tandas KSAD.
TMMD Dilaksanakan di Desa Bendungan
TNI Manunggal Masuk Desa (TMD) Imbangan Ke-80 di Kulon Progo dilaksanakan di Desa Bendungan, Kecamatan Wates selama 21 hari efektif mulai 21 Mei hingga 10 Juni mendatang. Upacara pembukaan digelar Rabu (21/5) di lapangan Bendungan dengan inspektur upacara Dandim 0731 Kulon Progo Letkol Inf I Made Sukarya, dan dihadiri oleh Bupati H Toyo Santoso Dipo, Wabup Drs H Mulyono, Ketua DPRD Drs H Kasdiyono, Muspida dan segnap pejabat pemkab.
Menurut Perwira Seksi Teritorial (Pasiter) Kodim Kulon Progo Kapten Inf Sutoyo, dalam TMMD itu untuk kegiatan fisik akan dilakukan perkerasan jalan 657 x 3 meter, pembangunan talud sepnjang 451 m, gorong-gorong 1 unit dan gardu ronda 1 unit. Selain itu akan dikerjakan penyempurnaan gardu rondan dan masjid masing-masing 1 unit, katanya.
Sedang untuk kegiatan nonfisik akan dilakukan penyuluhan bela negara dan kesadaran bernegara, serta penyuluhan ketrampilan teknis. “Seluruh pelaksanaan kegiatan akan didukung oleh anggota Kodim, Polres dan Sat Radar Congot sebanyak 42 dan akan dibantu oleh PNS dan masyarakat setempat sebanyak 50 orang perhari, terangnya.
Ditambahkan, kegiatan direncanakan akan menghabiskan biaya sebesar Rp. 135 juta. Yang berasal dari APBD Provinsi DIY sebesar Rp. 30 juta, APBD Kulon Progo Rp. 100 juta dan swadaya masyarakat rp. 5 juta. Di samping itu, akan dibantu oleh Kantor Kesbang Linmas Kulon Progo berupa 100 zak semen, ujar Sutoyo.
Dalam amanatnya I Made Sukarya membacakan sambutan tertulis KSAD Jendral TNI Agustadi Sasongko Purnomo antara lain menyatakan, proses perncanaan TMMD dilakukan dengan bottom up planning atau perencanaan dari bawah. Yaitu melalui musyawarah di tingkat desa atau rembug desa kemudian ke tingkat di atasnya sampai menjadi program TMMD. “Proses ini dilakukan agar program TMMD sesuai dengan permasalahan yang dihadapi dan sesuai dengan kemauan masyarakat di pedesaan,” katanya.
Untuk kegiatan fisik, tambahnya, dilakukan pembangunan dan perbaikan infrastruktur untuk menunjang mobilitas masyarakat yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan kesejahteraan. Sedang program nonfisik diorientasikan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat dalam berbagai aspek termasuk kesadaran bernegara, tandas KSAD.
TNI Manunggal Masuk Desa (TMD) Imbangan Ke-80 di Kulon Progo dilaksanakan di Desa Bendungan, Kecamatan Wates selama 21 hari efektif mulai 21 Mei hingga 10 Juni mendatang. Upacara pembukaan digelar Rabu (21/5) di lapangan Bendungan dengan inspektur upacara Dandim 0731 Kulon Progo Letkol Inf I Made Sukarya, dan dihadiri oleh Bupati H Toyo Santoso Dipo, Wabup Drs H Mulyono, Ketua DPRD Drs H Kasdiyono, Muspida dan segnap pejabat pemkab.
Menurut Perwira Seksi Teritorial (Pasiter) Kodim Kulon Progo Kapten Inf Sutoyo, dalam TMMD itu untuk kegiatan fisik akan dilakukan perkerasan jalan 657 x 3 meter, pembangunan talud sepnjang 451 m, gorong-gorong 1 unit dan gardu ronda 1 unit. Selain itu akan dikerjakan penyempurnaan gardu rondan dan masjid masing-masing 1 unit, katanya.
Sedang untuk kegiatan nonfisik akan dilakukan penyuluhan bela negara dan kesadaran bernegara, serta penyuluhan ketrampilan teknis. “Seluruh pelaksanaan kegiatan akan didukung oleh anggota Kodim, Polres dan Sat Radar Congot sebanyak 42 dan akan dibantu oleh PNS dan masyarakat setempat sebanyak 50 orang perhari, terangnya.
Ditambahkan, kegiatan direncanakan akan menghabiskan biaya sebesar Rp. 135 juta. Yang berasal dari APBD Provinsi DIY sebesar Rp. 30 juta, APBD Kulon Progo Rp. 100 juta dan swadaya masyarakat rp. 5 juta. Di samping itu, akan dibantu oleh Kantor Kesbang Linmas Kulon Progo berupa 100 zak semen, ujar Sutoyo.
Dalam amanatnya I Made Sukarya membacakan sambutan tertulis KSAD Jendral TNI Agustadi Sasongko Purnomo antara lain menyatakan, proses perncanaan TMMD dilakukan dengan bottom up planning atau perencanaan dari bawah. Yaitu melalui musyawarah di tingkat desa atau rembug desa kemudian ke tingkat di atasnya sampai menjadi program TMMD. “Proses ini dilakukan agar program TMMD sesuai dengan permasalahan yang dihadapi dan sesuai dengan kemauan masyarakat di pedesaan,” katanya.
Untuk kegiatan fisik, tambahnya, dilakukan pembangunan dan perbaikan infrastruktur untuk menunjang mobilitas masyarakat yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan kesejahteraan. Sedang program nonfisik diorientasikan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat dalam berbagai aspek termasuk kesadaran bernegara, tandas KSAD.
Harga Buku Dinilai Terlalu Mahal
Bupati Kulon Progo H Toyo Santoso Dipo menilai, harga buku di Indonesia masih terlalu mahal. Kondisi ini menyebabkan masyarakat enggan membeli buku. Akibatnya minat dan budaya baca masyarakat ketingalan cukup jauh dari Negara lain.
Penilaian itu disampaiakn Toyo pada pembukaan pameran dan bursa buku, Rabu (14/5) di gedung Kesenian Wates. Hadir pada acara itu Wakil Ketua II DPRD Drs Sudarta, Kepala Perpustakaan Nasional Drs Dedy P Rahmanto, MLS, Kepala Badan Perpusda DIY Drs Ikmal Hafzi, Ketua GPMB DY Drs Hajar Parmadhi, MA, Direktur Pemasaran BP Kedaulatan Rakyat Group Fajar Kusumawardhani SE dan kepala dinas instansi Pemkab.
Selain membuka pameran, bupati juga melakukan pencanangan membaca selama 3 menit serta wakaf buku bagi perpustakaan desa Banjarharjo, Kalibawang. Selain bupati, wakaf buku juga dilakukan oleh segenap pejabat yang hadir.
Bahkan, tambah Toyo, harga buku di Indonesia lebih mahal dari biaya foto kopi. Hal ini berkebalikan dengan harga di luar negeri. Kalau di luar negeri harga buku malah lebih murah dibanding biaya foto kopi.
“Saya tidak tahu apa pennyebabnya. Apakan ada faktor pungli (pungutan liar) ataukah karena ada faktor lain. Tolong Pak Kepala Perpustakaan Nasional, hal ini dicermati. Sebisa mungkin harga buku diturunkan agar masyarakat mampu membelinya,” ujar Toyo.
Menurut Toyo, ketertinggalan minat baca masyarakat Indonesia, menyebabkan ketertinggalan bangsa ini di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Di Eropa dan Jepang membaca dilakukan selama 5-7 jam perhari. Sementara di Korea, Singapura, Hongkong dan Malaysia dilakukan selama 3-5 jam. Sedang di Indonesia baru dilakuan selama 1-2 jam. “Itu pun baru terbatas bagi orang-orang terpilih,” tendasnya.
Sementara menurut Dedi, untuk meningkatkan kualitas SDM masyarakat Indonesia harus merubah budaya tutur menjadi budaya baca. Masyarakat, kata dia, masih terbiasa dengan kebiasaan bertutur seperti bercerita, ngobrol, bergunjing dan bergosip. Sehingga masyarakat masih jauh dari gemar membaca, apalagi budaya baca.
“Namun merubah kebisaan ini tidak mudah dan perlu kerja keras semua pihak. Bukan hanya pemerintah saja namun harus didukug segenap komponen masyarakat. Seperti pameran buku di Kulon Progo ini. Ini adalah upaya untuk meningkatkan budaya baca yang didukung oleh banyak pihak, katanya.
Pameran dan bursa buku itu sendiri akan berlangsung selama 5 hari (14-18/5). Dan diikuti oleh sekitar 20 peserta dari Kota Yogyakarta dan sekitarnya.
Bupati Kulon Progo H Toyo Santoso Dipo menilai, harga buku di Indonesia masih terlalu mahal. Kondisi ini menyebabkan masyarakat enggan membeli buku. Akibatnya minat dan budaya baca masyarakat ketingalan cukup jauh dari Negara lain.
Penilaian itu disampaiakn Toyo pada pembukaan pameran dan bursa buku, Rabu (14/5) di gedung Kesenian Wates. Hadir pada acara itu Wakil Ketua II DPRD Drs Sudarta, Kepala Perpustakaan Nasional Drs Dedy P Rahmanto, MLS, Kepala Badan Perpusda DIY Drs Ikmal Hafzi, Ketua GPMB DY Drs Hajar Parmadhi, MA, Direktur Pemasaran BP Kedaulatan Rakyat Group Fajar Kusumawardhani SE dan kepala dinas instansi Pemkab.
Selain membuka pameran, bupati juga melakukan pencanangan membaca selama 3 menit serta wakaf buku bagi perpustakaan desa Banjarharjo, Kalibawang. Selain bupati, wakaf buku juga dilakukan oleh segenap pejabat yang hadir.
Bahkan, tambah Toyo, harga buku di Indonesia lebih mahal dari biaya foto kopi. Hal ini berkebalikan dengan harga di luar negeri. Kalau di luar negeri harga buku malah lebih murah dibanding biaya foto kopi.
“Saya tidak tahu apa pennyebabnya. Apakan ada faktor pungli (pungutan liar) ataukah karena ada faktor lain. Tolong Pak Kepala Perpustakaan Nasional, hal ini dicermati. Sebisa mungkin harga buku diturunkan agar masyarakat mampu membelinya,” ujar Toyo.
Menurut Toyo, ketertinggalan minat baca masyarakat Indonesia, menyebabkan ketertinggalan bangsa ini di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Di Eropa dan Jepang membaca dilakukan selama 5-7 jam perhari. Sementara di Korea, Singapura, Hongkong dan Malaysia dilakukan selama 3-5 jam. Sedang di Indonesia baru dilakuan selama 1-2 jam. “Itu pun baru terbatas bagi orang-orang terpilih,” tendasnya.
Sementara menurut Dedi, untuk meningkatkan kualitas SDM masyarakat Indonesia harus merubah budaya tutur menjadi budaya baca. Masyarakat, kata dia, masih terbiasa dengan kebiasaan bertutur seperti bercerita, ngobrol, bergunjing dan bergosip. Sehingga masyarakat masih jauh dari gemar membaca, apalagi budaya baca.
“Namun merubah kebisaan ini tidak mudah dan perlu kerja keras semua pihak. Bukan hanya pemerintah saja namun harus didukug segenap komponen masyarakat. Seperti pameran buku di Kulon Progo ini. Ini adalah upaya untuk meningkatkan budaya baca yang didukung oleh banyak pihak, katanya.
Pameran dan bursa buku itu sendiri akan berlangsung selama 5 hari (14-18/5). Dan diikuti oleh sekitar 20 peserta dari Kota Yogyakarta dan sekitarnya.
Harga Buku Dinilai Terlalu Mahal
Bupati Kulon Progo H Toyo Santoso Dipo menilai, harga buku di Indonesia masih terlalu mahal. Kondisi ini menyebabkan masyarakat enggan membeli buku. Akibatnya minat dan budaya baca masyarakat ketingalan cukup jauh dari Negara lain.
Penilaian itu disampaiakn Toyo pada pembukaan pameran dan bursa buku, Rabu (14/5) di gedung Kesenian Wates. Hadir pada acara itu Wakil Ketua II DPRD Drs Sudarta, Kepala Perpustakaan Nasional Drs Dedy P Rahmanto, MLS, Kepala Badan Perpusda DIY Drs Ikmal Hafzi, Ketua GPMB DY Drs Hajar Parmadhi, MA, Direktur Pemasaran BP Kedaulatan Rakyat Group Fajar Kusumawardhani SE dan kepala dinas instansi Pemkab.
Selain membuka pameran, bupati juga melakukan pencanangan membaca selama 3 menit serta wakaf buku bagi perpustakaan desa Banjarharjo, Kalibawang. Selain bupati, wakaf buku juga dilakukan oleh segenap pejabat yang hadir.
Bahkan, tambah Toyo, harga buku di Indonesia lebih mahal dari biaya foto kopi. Hal ini berkebalikan dengan harga di luar negeri. Kalau di luar negeri harga buku malah lebih murah dibanding biaya foto kopi.
“Saya tidak tahu apa pennyebabnya. Apakan ada faktor pungli (pungutan liar) ataukah karena ada faktor lain. Tolong Pak Kepala Perpustakaan Nasional, hal ini dicermati. Sebisa mungkin harga buku diturunkan agar masyarakat mampu membelinya,” ujar Toyo.
Menurut Toyo, ketertinggalan minat baca masyarakat Indonesia, menyebabkan ketertinggalan bangsa ini di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Di Eropa dan Jepang membaca dilakukan selama 5-7 jam perhari. Sementara di Korea, Singapura, Hongkong dan Malaysia dilakukan selama 3-5 jam. Sedang di Indonesia baru dilakuan selama 1-2 jam. “Itu pun baru terbatas bagi orang-orang terpilih,” tendasnya.
Sementara menurut Dedi, untuk meningkatkan kualitas SDM masyarakat Indonesia harus merubah budaya tutur menjadi budaya baca. Masyarakat, kata dia, masih terbiasa dengan kebiasaan bertutur seperti bercerita, ngobrol, bergunjing dan bergosip. Sehingga masyarakat masih jauh dari gemar membaca, apalagi budaya baca.
“Namun merubah kebisaan ini tidak mudah dan perlu kerja keras semua pihak. Bukan hanya pemerintah saja namun harus didukug segenap komponen masyarakat. Seperti pameran buku di Kulon Progo ini. Ini adalah upaya untuk meningkatkan budaya baca yang didukung oleh banyak pihak, katanya.
Pameran dan bursa buku itu sendiri akan berlangsung selama 5 hari (14-18/5). Dan diikuti oleh sekitar 20 peserta dari Kota Yogyakarta dan sekitarnya.
Bupati Kulon Progo H Toyo Santoso Dipo menilai, harga buku di Indonesia masih terlalu mahal. Kondisi ini menyebabkan masyarakat enggan membeli buku. Akibatnya minat dan budaya baca masyarakat ketingalan cukup jauh dari Negara lain.
Penilaian itu disampaiakn Toyo pada pembukaan pameran dan bursa buku, Rabu (14/5) di gedung Kesenian Wates. Hadir pada acara itu Wakil Ketua II DPRD Drs Sudarta, Kepala Perpustakaan Nasional Drs Dedy P Rahmanto, MLS, Kepala Badan Perpusda DIY Drs Ikmal Hafzi, Ketua GPMB DY Drs Hajar Parmadhi, MA, Direktur Pemasaran BP Kedaulatan Rakyat Group Fajar Kusumawardhani SE dan kepala dinas instansi Pemkab.
Selain membuka pameran, bupati juga melakukan pencanangan membaca selama 3 menit serta wakaf buku bagi perpustakaan desa Banjarharjo, Kalibawang. Selain bupati, wakaf buku juga dilakukan oleh segenap pejabat yang hadir.
Bahkan, tambah Toyo, harga buku di Indonesia lebih mahal dari biaya foto kopi. Hal ini berkebalikan dengan harga di luar negeri. Kalau di luar negeri harga buku malah lebih murah dibanding biaya foto kopi.
“Saya tidak tahu apa pennyebabnya. Apakan ada faktor pungli (pungutan liar) ataukah karena ada faktor lain. Tolong Pak Kepala Perpustakaan Nasional, hal ini dicermati. Sebisa mungkin harga buku diturunkan agar masyarakat mampu membelinya,” ujar Toyo.
Menurut Toyo, ketertinggalan minat baca masyarakat Indonesia, menyebabkan ketertinggalan bangsa ini di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Di Eropa dan Jepang membaca dilakukan selama 5-7 jam perhari. Sementara di Korea, Singapura, Hongkong dan Malaysia dilakukan selama 3-5 jam. Sedang di Indonesia baru dilakuan selama 1-2 jam. “Itu pun baru terbatas bagi orang-orang terpilih,” tendasnya.
Sementara menurut Dedi, untuk meningkatkan kualitas SDM masyarakat Indonesia harus merubah budaya tutur menjadi budaya baca. Masyarakat, kata dia, masih terbiasa dengan kebiasaan bertutur seperti bercerita, ngobrol, bergunjing dan bergosip. Sehingga masyarakat masih jauh dari gemar membaca, apalagi budaya baca.
“Namun merubah kebisaan ini tidak mudah dan perlu kerja keras semua pihak. Bukan hanya pemerintah saja namun harus didukug segenap komponen masyarakat. Seperti pameran buku di Kulon Progo ini. Ini adalah upaya untuk meningkatkan budaya baca yang didukung oleh banyak pihak, katanya.
Pameran dan bursa buku itu sendiri akan berlangsung selama 5 hari (14-18/5). Dan diikuti oleh sekitar 20 peserta dari Kota Yogyakarta dan sekitarnya.
Harga Buku Dinilai Terlalu Mahal
Bupati Kulon Progo H Toyo Santoso Dipo menilai, harga buku di Indonesia masih terlalu mahal. Kondisi ini menyebabkan masyarakat enggan membeli buku. Akibatnya minat dan budaya baca masyarakat ketingalan cukup jauh dari Negara lain.
Penilaian itu disampaiakn Toyo pada pembukaan pameran dan bursa buku, Rabu (14/5) di gedung Kesenian Wates. Hadir pada acara itu Wakil Ketua II DPRD Drs Sudarta, Kepala Perpustakaan Nasional Drs Dedy P Rahmanto, MLS, Kepala Badan Perpusda DIY Drs Ikmal Hafzi, Ketua GPMB DY Drs Hajar Parmadhi, MA, Direktur Pemasaran BP Kedaulatan Rakyat Group Fajar Kusumawardhani SE dan kepala dinas instansi Pemkab.
Selain membuka pameran, bupati juga melakukan pencanangan membaca selama 3 menit serta wakaf buku bagi perpustakaan desa Banjarharjo, Kalibawang. Selain bupati, wakaf buku juga dilakukan oleh segenap pejabat yang hadir.
Bahkan, tambah Toyo, harga buku di Indonesia lebih mahal dari biaya foto kopi. Hal ini berkebalikan dengan harga di luar negeri. Kalau di luar negeri harga buku malah lebih murah dibanding biaya foto kopi.
“Saya tidak tahu apa pennyebabnya. Apakan ada faktor pungli (pungutan liar) ataukah karena ada faktor lain. Tolong Pak Kepala Perpustakaan Nasional, hal ini dicermati. Sebisa mungkin harga buku diturunkan agar masyarakat mampu membelinya,” ujar Toyo.
Menurut Toyo, ketertinggalan minat baca masyarakat Indonesia, menyebabkan ketertinggalan bangsa ini di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Di Eropa dan Jepang membaca dilakukan selama 5-7 jam perhari. Sementara di Korea, Singapura, Hongkong dan Malaysia dilakukan selama 3-5 jam. Sedang di Indonesia baru dilakuan selama 1-2 jam. “Itu pun baru terbatas bagi orang-orang terpilih,” tendasnya.
Sementara menurut Dedi, untuk meningkatkan kualitas SDM masyarakat Indonesia harus merubah budaya tutur menjadi budaya baca. Masyarakat, kata dia, masih terbiasa dengan kebiasaan bertutur seperti bercerita, ngobrol, bergunjing dan bergosip. Sehingga masyarakat masih jauh dari gemar membaca, apalagi budaya baca.
“Namun merubah kebisaan ini tidak mudah dan perlu kerja keras semua pihak. Bukan hanya pemerintah saja namun harus didukug segenap komponen masyarakat. Seperti pameran buku di Kulon Progo ini. Ini adalah upaya untuk meningkatkan budaya baca yang didukung oleh banyak pihak, katanya.
Pameran dan bursa buku itu sendiri akan berlangsung selama 5 hari (14-18/5). Dan diikuti oleh sekitar 20 peserta dari Kota Yogyakarta dan sekitarnya.
Bupati Kulon Progo H Toyo Santoso Dipo menilai, harga buku di Indonesia masih terlalu mahal. Kondisi ini menyebabkan masyarakat enggan membeli buku. Akibatnya minat dan budaya baca masyarakat ketingalan cukup jauh dari Negara lain.
Penilaian itu disampaiakn Toyo pada pembukaan pameran dan bursa buku, Rabu (14/5) di gedung Kesenian Wates. Hadir pada acara itu Wakil Ketua II DPRD Drs Sudarta, Kepala Perpustakaan Nasional Drs Dedy P Rahmanto, MLS, Kepala Badan Perpusda DIY Drs Ikmal Hafzi, Ketua GPMB DY Drs Hajar Parmadhi, MA, Direktur Pemasaran BP Kedaulatan Rakyat Group Fajar Kusumawardhani SE dan kepala dinas instansi Pemkab.
Selain membuka pameran, bupati juga melakukan pencanangan membaca selama 3 menit serta wakaf buku bagi perpustakaan desa Banjarharjo, Kalibawang. Selain bupati, wakaf buku juga dilakukan oleh segenap pejabat yang hadir.
Bahkan, tambah Toyo, harga buku di Indonesia lebih mahal dari biaya foto kopi. Hal ini berkebalikan dengan harga di luar negeri. Kalau di luar negeri harga buku malah lebih murah dibanding biaya foto kopi.
“Saya tidak tahu apa pennyebabnya. Apakan ada faktor pungli (pungutan liar) ataukah karena ada faktor lain. Tolong Pak Kepala Perpustakaan Nasional, hal ini dicermati. Sebisa mungkin harga buku diturunkan agar masyarakat mampu membelinya,” ujar Toyo.
Menurut Toyo, ketertinggalan minat baca masyarakat Indonesia, menyebabkan ketertinggalan bangsa ini di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Di Eropa dan Jepang membaca dilakukan selama 5-7 jam perhari. Sementara di Korea, Singapura, Hongkong dan Malaysia dilakukan selama 3-5 jam. Sedang di Indonesia baru dilakuan selama 1-2 jam. “Itu pun baru terbatas bagi orang-orang terpilih,” tendasnya.
Sementara menurut Dedi, untuk meningkatkan kualitas SDM masyarakat Indonesia harus merubah budaya tutur menjadi budaya baca. Masyarakat, kata dia, masih terbiasa dengan kebiasaan bertutur seperti bercerita, ngobrol, bergunjing dan bergosip. Sehingga masyarakat masih jauh dari gemar membaca, apalagi budaya baca.
“Namun merubah kebisaan ini tidak mudah dan perlu kerja keras semua pihak. Bukan hanya pemerintah saja namun harus didukug segenap komponen masyarakat. Seperti pameran buku di Kulon Progo ini. Ini adalah upaya untuk meningkatkan budaya baca yang didukung oleh banyak pihak, katanya.
Pameran dan bursa buku itu sendiri akan berlangsung selama 5 hari (14-18/5). Dan diikuti oleh sekitar 20 peserta dari Kota Yogyakarta dan sekitarnya.
PPNI Kulon Progo Gelar Donor Darah
Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Kulon Progo, Sabtu (10/5) menggelar kegiatan donor darah secara massal di aula RSUD Wates. Kegiatan itu diikuti oleh 30 anggota PPNI, baik dari RSUD Wates maupun Puskesmas.
Menurut ketua panitia, Nyono S Kep, aksi donor darah dilaksanakan dalam rangka Hari Perawat Sedunia yang jatuh pada tanggal 12 Mei 2008 dan bertujuan untuk membantu kecukupan ketersediaan darah bagi RSUD Wates.
“Palang Merah Indonesia (PMI) Cabang Kulon Progo dan RSUD Wates sering mengalami kekurangan stok darah. Sehingga sering terjadi, pasien yang membutuhkan darah harus grubyugan ke sana-kemari untuk mencari donor. Untuk itulah kami melakukan aksi ini agar stok darah cukup dan masyarakat yang membutuhkan bisa terbantu,” ujar Nyono.
Direktur RSUD Wates dr Bambang Haryatno, M Kes yang turut menyaksikan kegiatan tersebut, meyambut positif aksi yang dilakukan PPNI. Menurut Bambang, kegiatan itu akan sangat membantu masyarakat khususnya pasien yang membutuhkan darah dalam waktu yang mendesak.
Dikatakan, RSUD Wates pada waktu-waktu tertentu masih kekurangan darah dalam jumlah cukup besar. Terutama di saat-saat emergency, seperti saat banyak pasien yang harus operasi atau ada banyak pasien yang membutuhkan tambahan darah karena menderita penyakit tertentu.
“Contohnya saat putra Pak Kepala Dinas Kesehatan Kulon Progo menderita opname karena terserang penyakit DBD beberapa waktu lalu. Kebetulan stok darah golongan B yang dibutuhkan kosong, sehingga kami harus mencari donor kemana-mana. Beruntung akhirnya kami dapat sehingga putra Pak Kepala Dinas bisa segera sembuh,” terangnya.
Bambang berharap agar kegiatan yang dilakukan PPNI itu bisa memotivasi kelompok masyarakat yang lain untuk melakukan kegiatan yang sama. “Ini kegiatan riil yang sangat membantu masyarakat,” tegas mantan Kepala Puskesmas Wates tersebut.
Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Kulon Progo, Sabtu (10/5) menggelar kegiatan donor darah secara massal di aula RSUD Wates. Kegiatan itu diikuti oleh 30 anggota PPNI, baik dari RSUD Wates maupun Puskesmas.
Menurut ketua panitia, Nyono S Kep, aksi donor darah dilaksanakan dalam rangka Hari Perawat Sedunia yang jatuh pada tanggal 12 Mei 2008 dan bertujuan untuk membantu kecukupan ketersediaan darah bagi RSUD Wates.
“Palang Merah Indonesia (PMI) Cabang Kulon Progo dan RSUD Wates sering mengalami kekurangan stok darah. Sehingga sering terjadi, pasien yang membutuhkan darah harus grubyugan ke sana-kemari untuk mencari donor. Untuk itulah kami melakukan aksi ini agar stok darah cukup dan masyarakat yang membutuhkan bisa terbantu,” ujar Nyono.
Direktur RSUD Wates dr Bambang Haryatno, M Kes yang turut menyaksikan kegiatan tersebut, meyambut positif aksi yang dilakukan PPNI. Menurut Bambang, kegiatan itu akan sangat membantu masyarakat khususnya pasien yang membutuhkan darah dalam waktu yang mendesak.
Dikatakan, RSUD Wates pada waktu-waktu tertentu masih kekurangan darah dalam jumlah cukup besar. Terutama di saat-saat emergency, seperti saat banyak pasien yang harus operasi atau ada banyak pasien yang membutuhkan tambahan darah karena menderita penyakit tertentu.
“Contohnya saat putra Pak Kepala Dinas Kesehatan Kulon Progo menderita opname karena terserang penyakit DBD beberapa waktu lalu. Kebetulan stok darah golongan B yang dibutuhkan kosong, sehingga kami harus mencari donor kemana-mana. Beruntung akhirnya kami dapat sehingga putra Pak Kepala Dinas bisa segera sembuh,” terangnya.
Bambang berharap agar kegiatan yang dilakukan PPNI itu bisa memotivasi kelompok masyarakat yang lain untuk melakukan kegiatan yang sama. “Ini kegiatan riil yang sangat membantu masyarakat,” tegas mantan Kepala Puskesmas Wates tersebut.
Program Pemberdayaan Masyarakat Masih ‘Pating Blasur’
Program-program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh pemerintah dinilai masih ’pating blasur’. Beberapa program yang dilaksanakan oleh departemen yang berbeda masih dilakukan sendiri-sendiri, tanpa koordinasi yang jelas. Akibatnya, pelaksanannnya di daerah sering tumpang tindih dan cenderung membingungkan masyarakat.
Penilaian itu diungkapkan oleh Direktur Penanggulangan Kemiskinan Badan Perencanaan Nasional (Bapenas) Dr Ir Endah Murniningtyas MSc saat melakukan kunjungan ke Unit Pengelola Kegiatan (UPK) Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM MP) ’Ngudi Raharja’ di kompleks kantor Camat Lendah, Minggu (27/4). Hadir pada acara itu Koordinator PNPM MP Provinsi DIY Jonathan Dwijo, Sekretaris Tim Monitoring PNPM MP Kulon Progo Drs Slamet Riyadi, Sekcam Lendah Sutirsno, S Sos dan segenap pengelola PNPM MP se Kecamatan Lendah.
Di tingkat Pusat, tambah Endah, ada berbagai jenis pogram pemberdayaan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan oleh beberapa departemen sesuai dengan ketugasannya. Seperti di bidang infrastruktur, irigasi, perumahan, kelembagaan masyarakat dan sebagainya.
Karena dilakukan sendiri-sendiri,ujar Endah, pelaksanaan program-program itu sering terjadi tumpang tindih. Ada 2 atau lebih program yang dilakukan di satu desa, namun ada pula desa dengan kategori miskin yang malah tidak kebagian program. ”Kondisi ini yang sering menyebabkan masyarakat bingung,” tandasnya.
Ditambahkan, seharusnya program-program itu dilakukan secara terpadu dan terkoordinasi. Namun kalau di tingkat pusat koordinasinya relatif sulit. Akan lebih mudah bila koordinasi dilakukan di daerah, seperti yang telah dilakukan UPK. Lembaga ini bisa mengkoordinasikan berbagai kegiatan dari tingkat pusat untuk dilakukan di daerah atau desa, jelas wanita asal Yogyakarta itu.
Lebih jauh Endah mengharapkan agar program pemberdayaan masyarakat dan pengentasan kemiskinan dapat dilakukan secara terintegrasi dari pemerintah pusat sampai desa dan masyarakat. Dia menilai, selama ini masing-masing tingkatan masih berjalan sendiri-sendiri. Sehingga pelaksanaannya menjadi kurang efektif dan efisien.
”Disamping itu masih ada persepsi di tingkat bawah bahwa dalam program ini pemerintah pusat berperan sebagai penyandang dana. Padahal sebenarnya tidak seperti itu. Semua tingkatan harus mengalokasikan anggaran dan dilaksanakan dengan sistem sharing. Kalau hanya njagakke anggaran dari pusat, jumlahnya akan sangat terbatas,” tandasnya.
Di bagian lain Endah menengarai, salah satu kelemahan program pemberdayaan masyarakat adalah sistem administrasi yang terlalu njlimet di semua tingkatan. Termasuk di tingkat desa dan kelompok. Dicontohkan, form laporan dari kelompok sampai pusat sama njlimetnya. Sehingga sering muncul keluhan, lebih sulit mengerjakan laporannya daripada melaksanakan kegiatannya. ”Ini perlu diubah, semakin ke bawah harus semakin sederhana,” tegas Endah.
Sementara menurut Kepala Desa Jatirejo Ir Ridwan Heri Mahmudi, keharusan pemerintah desa untuk membuat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) dalam pelaksanan PNPM MP dinilai sangat memberatkan. Menurut dia, dengan kondisi perangkat desa yang sebagian besar lulusan SD membuat RPJMDes itu sangat berat.
Kalaupun bisa dibuat, ujarnya, itu bukan gagasan orisinil. Tetapi hasil cuplikan dari sana sini yang tidak berdasar pada kondisi desa setempat. ”Saat ini persyaratan itu kurang tepat dan sangat memberatkan pemerintah desa. Mungkin akan ideal bila dilakukan 5 tahun ke depan bila pendidikan perangkat desa rata-rata sudah SLTA,” imbuhnya.
Program-program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh pemerintah dinilai masih ’pating blasur’. Beberapa program yang dilaksanakan oleh departemen yang berbeda masih dilakukan sendiri-sendiri, tanpa koordinasi yang jelas. Akibatnya, pelaksanannnya di daerah sering tumpang tindih dan cenderung membingungkan masyarakat.
Penilaian itu diungkapkan oleh Direktur Penanggulangan Kemiskinan Badan Perencanaan Nasional (Bapenas) Dr Ir Endah Murniningtyas MSc saat melakukan kunjungan ke Unit Pengelola Kegiatan (UPK) Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM MP) ’Ngudi Raharja’ di kompleks kantor Camat Lendah, Minggu (27/4). Hadir pada acara itu Koordinator PNPM MP Provinsi DIY Jonathan Dwijo, Sekretaris Tim Monitoring PNPM MP Kulon Progo Drs Slamet Riyadi, Sekcam Lendah Sutirsno, S Sos dan segenap pengelola PNPM MP se Kecamatan Lendah.
Di tingkat Pusat, tambah Endah, ada berbagai jenis pogram pemberdayaan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan oleh beberapa departemen sesuai dengan ketugasannya. Seperti di bidang infrastruktur, irigasi, perumahan, kelembagaan masyarakat dan sebagainya.
Karena dilakukan sendiri-sendiri,ujar Endah, pelaksanaan program-program itu sering terjadi tumpang tindih. Ada 2 atau lebih program yang dilakukan di satu desa, namun ada pula desa dengan kategori miskin yang malah tidak kebagian program. ”Kondisi ini yang sering menyebabkan masyarakat bingung,” tandasnya.
Ditambahkan, seharusnya program-program itu dilakukan secara terpadu dan terkoordinasi. Namun kalau di tingkat pusat koordinasinya relatif sulit. Akan lebih mudah bila koordinasi dilakukan di daerah, seperti yang telah dilakukan UPK. Lembaga ini bisa mengkoordinasikan berbagai kegiatan dari tingkat pusat untuk dilakukan di daerah atau desa, jelas wanita asal Yogyakarta itu.
Lebih jauh Endah mengharapkan agar program pemberdayaan masyarakat dan pengentasan kemiskinan dapat dilakukan secara terintegrasi dari pemerintah pusat sampai desa dan masyarakat. Dia menilai, selama ini masing-masing tingkatan masih berjalan sendiri-sendiri. Sehingga pelaksanaannya menjadi kurang efektif dan efisien.
”Disamping itu masih ada persepsi di tingkat bawah bahwa dalam program ini pemerintah pusat berperan sebagai penyandang dana. Padahal sebenarnya tidak seperti itu. Semua tingkatan harus mengalokasikan anggaran dan dilaksanakan dengan sistem sharing. Kalau hanya njagakke anggaran dari pusat, jumlahnya akan sangat terbatas,” tandasnya.
Di bagian lain Endah menengarai, salah satu kelemahan program pemberdayaan masyarakat adalah sistem administrasi yang terlalu njlimet di semua tingkatan. Termasuk di tingkat desa dan kelompok. Dicontohkan, form laporan dari kelompok sampai pusat sama njlimetnya. Sehingga sering muncul keluhan, lebih sulit mengerjakan laporannya daripada melaksanakan kegiatannya. ”Ini perlu diubah, semakin ke bawah harus semakin sederhana,” tegas Endah.
Sementara menurut Kepala Desa Jatirejo Ir Ridwan Heri Mahmudi, keharusan pemerintah desa untuk membuat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) dalam pelaksanan PNPM MP dinilai sangat memberatkan. Menurut dia, dengan kondisi perangkat desa yang sebagian besar lulusan SD membuat RPJMDes itu sangat berat.
Kalaupun bisa dibuat, ujarnya, itu bukan gagasan orisinil. Tetapi hasil cuplikan dari sana sini yang tidak berdasar pada kondisi desa setempat. ”Saat ini persyaratan itu kurang tepat dan sangat memberatkan pemerintah desa. Mungkin akan ideal bila dilakukan 5 tahun ke depan bila pendidikan perangkat desa rata-rata sudah SLTA,” imbuhnya.
DPRD Berikan Apresiasi Keberhasilan Pembangunan
Selain memberikan catatan-catatan atas pelaksanaan pembangunan di Kulon Progo di tahun 2007, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Kulon Progo juga memberikan apresiasi keberhasilan pelaksanaan pembangunan. Berbagai catatan dan apresiasi tersebut disampaikan dalam Rapat Paripurna DPRD Kulon Progo Senin (28/4), tentang tanggapan Panitia Khusus (Pansus) dan fraksi-fraksi di DPRD Kulon Progo terhadap Laporan Keterangan Pertanggung Jawaban (LKPJ) Bupati tahun 2007 di Gedung DPRD.
Dalam rapat paripurna yang dipimpin oleh Ketua DPRD Kulon Progo Drs. H. Kasdiyono dan dihadiri oleh 25 orang anggota dari 35 anggota yang ada, pansus DPRD menyampaikan apresiasi tentang pelaksanan pembangunan di tahun 2007. Seperti, tindak lanjut catatan DPRD terhadap LKPJ 2006, peningkatan kesejahteran keluarga, pengurangan jumlah penduduk miskin, penurunan angka pengangguran, peningkatan pertumbuhan ekonomi, peningkatan IPM, pelaksanan keamanan yang kondusif serta penyelesaian laporan dalam SKPD yang cenderung lancar dan mengalami peningkatan positif.
Seperti dibacakan oleh Sekretaris DPRD Kulon Progo Drs. Djuwardi, pertumbuhan ekonomi Kulon progo selama kurun waktu 2003-2006 terus mengalami pertumbuhan yang baik. Yaitu, mencapai angka 4,05 % pada tahun 2005. Dengan PDRB tahun 2006 yang mencapai Rp 2,4 trilyun dengan PDRB perkapita penduduk mencapai Rp 6,4 juta. Hal ini terlihat mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya (2005) yang baru mencapau Rp 5,5 juta perkapita penduduk.
Dengan peningkatan tersebut, memberi imbas terhadap peningkatan kesejahteraan penduduk sehingga jumlah keluarga pra sejahtera di Kulon Progo juga menurun. Yaitu, dari 41,43 % (2006) menjadi 40,31 % (2007). Dengan peningkatan di sisi Keluarga sejahtera III sebesar 22,96 % tahun 2007 yang pada tahun 2006 baru mencapai 20,96 %.
Selain hal tersebut, pengurangan angka pengangguran juga diberikan apresiasi tersendiri karena selama 3 tahun terus mengalami penurunan. Pada tahun 2005 jumlah penganggur di Kulon Progo mencapai 16.032 orang, tahun 2006 sebanyak 14.385 orang dan di tahun 2007 menurun lagi menjadi 13.500 orang. “Peningkatan peningtan tersebut menjadikan apresiasi tersendiri. Karena meskipun di Kulon Progo juga sering terjadi protes dari masyarakat, namun masih sebatas kewajaran dan tidak mengganggu jalannya pemerintahan dan pembangunan,” katanya.
Di sisi lain, dalam keputusannya, DPRD juga memberikan catatan-catatan terhadap LKPJ Bupati tahun 2007. Di antaranya, data pada komponen ekonomi dan potensi ekonomi dicirigai kurang valid. Sihingga kedepan diperlukan adanya perbaikan sistem dan kinerja pendataan sehingga bisa semakin valid dan obyektif.
Selain itu, pertumbuhan ekonomi memang telah terjadi namun pertumbuhan tersebut tidak merata. Karena penyumbang angka terbesar dalam pertumbuhan ekonomi yang mencapai 4,05 % masih berada pada golongan ekonomi menengah keatas. “Untuk itu, pertumbuhan ekonomi bagi kesejahteran golongan ekonomi lemah harus mendapat perhatian dan priorotas yang lebih tinggi,” lanjutnya.
Sementara itu, rekomendasi tersebut diberikan oleh Ketua DPRD Kulon Progo Drs. H. Kasdiyono kepada Bupati Kulon Progo H. toyo S Dipo. Dengan rekomendasi tersebut, diharapkan bisa menjadi acuan dan evaluasi untuk mewujudkan pembangunan di Kulon Progo di masa yang akan datang.
Selain memberikan catatan-catatan atas pelaksanaan pembangunan di Kulon Progo di tahun 2007, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Kulon Progo juga memberikan apresiasi keberhasilan pelaksanaan pembangunan. Berbagai catatan dan apresiasi tersebut disampaikan dalam Rapat Paripurna DPRD Kulon Progo Senin (28/4), tentang tanggapan Panitia Khusus (Pansus) dan fraksi-fraksi di DPRD Kulon Progo terhadap Laporan Keterangan Pertanggung Jawaban (LKPJ) Bupati tahun 2007 di Gedung DPRD.
Dalam rapat paripurna yang dipimpin oleh Ketua DPRD Kulon Progo Drs. H. Kasdiyono dan dihadiri oleh 25 orang anggota dari 35 anggota yang ada, pansus DPRD menyampaikan apresiasi tentang pelaksanan pembangunan di tahun 2007. Seperti, tindak lanjut catatan DPRD terhadap LKPJ 2006, peningkatan kesejahteran keluarga, pengurangan jumlah penduduk miskin, penurunan angka pengangguran, peningkatan pertumbuhan ekonomi, peningkatan IPM, pelaksanan keamanan yang kondusif serta penyelesaian laporan dalam SKPD yang cenderung lancar dan mengalami peningkatan positif.
Seperti dibacakan oleh Sekretaris DPRD Kulon Progo Drs. Djuwardi, pertumbuhan ekonomi Kulon progo selama kurun waktu 2003-2006 terus mengalami pertumbuhan yang baik. Yaitu, mencapai angka 4,05 % pada tahun 2005. Dengan PDRB tahun 2006 yang mencapai Rp 2,4 trilyun dengan PDRB perkapita penduduk mencapai Rp 6,4 juta. Hal ini terlihat mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya (2005) yang baru mencapau Rp 5,5 juta perkapita penduduk.
Dengan peningkatan tersebut, memberi imbas terhadap peningkatan kesejahteraan penduduk sehingga jumlah keluarga pra sejahtera di Kulon Progo juga menurun. Yaitu, dari 41,43 % (2006) menjadi 40,31 % (2007). Dengan peningkatan di sisi Keluarga sejahtera III sebesar 22,96 % tahun 2007 yang pada tahun 2006 baru mencapai 20,96 %.
Selain hal tersebut, pengurangan angka pengangguran juga diberikan apresiasi tersendiri karena selama 3 tahun terus mengalami penurunan. Pada tahun 2005 jumlah penganggur di Kulon Progo mencapai 16.032 orang, tahun 2006 sebanyak 14.385 orang dan di tahun 2007 menurun lagi menjadi 13.500 orang. “Peningkatan peningtan tersebut menjadikan apresiasi tersendiri. Karena meskipun di Kulon Progo juga sering terjadi protes dari masyarakat, namun masih sebatas kewajaran dan tidak mengganggu jalannya pemerintahan dan pembangunan,” katanya.
Di sisi lain, dalam keputusannya, DPRD juga memberikan catatan-catatan terhadap LKPJ Bupati tahun 2007. Di antaranya, data pada komponen ekonomi dan potensi ekonomi dicirigai kurang valid. Sihingga kedepan diperlukan adanya perbaikan sistem dan kinerja pendataan sehingga bisa semakin valid dan obyektif.
Selain itu, pertumbuhan ekonomi memang telah terjadi namun pertumbuhan tersebut tidak merata. Karena penyumbang angka terbesar dalam pertumbuhan ekonomi yang mencapai 4,05 % masih berada pada golongan ekonomi menengah keatas. “Untuk itu, pertumbuhan ekonomi bagi kesejahteran golongan ekonomi lemah harus mendapat perhatian dan priorotas yang lebih tinggi,” lanjutnya.
Sementara itu, rekomendasi tersebut diberikan oleh Ketua DPRD Kulon Progo Drs. H. Kasdiyono kepada Bupati Kulon Progo H. toyo S Dipo. Dengan rekomendasi tersebut, diharapkan bisa menjadi acuan dan evaluasi untuk mewujudkan pembangunan di Kulon Progo di masa yang akan datang.
Langganan:
Postingan (Atom)