16 Juni, 2009

Tingkat Penderita Gangguan Jiwa Capai 140 Permil


Tingkat penderita gangguan jiwa di Indonesia tergolong tinggi. Berdasarkan Sensus Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 mencapai 140 permil. Kondisi ini merupakan masalah serius yang dihadapi masyarakat dan pemerintah karena akan sangat berpengaruh terhadap penurunan produktivitas masyarakat.
Demikian dikatakan Direktur RS Grhasia dr Rohana Dwi Astuti dalam pencanangan Desa Banaran, Kecamatan Galur sebagai Desa Siaga Sehat Jiwa (DSSJ), Kamis (10/6) di balai desa setempat. Pencanangan tersebut Wabup Drs H Mulyono, Camat Galur Jumanto SH, Kepala SKPD terkait, Wakil Ketua TP PKK Hj Tutik Mulyono serta tokoh masyarakat.
Penurunan produktivitas pada penderita gangguan jiwa, tambah Rochana, dapat diminimasilir apabila mendapat perawatan yang baik oleh anggota keluarga yang lain. Sehingga penderita tidak perlu dirawat di rumah sakit, dan dapat menjalankan aktivitas sehari-hari seperti anggota masyarakat yang tidak terkena gangguan jiwa.
“Langkah yang diperlukan adalah memberdayakan masyarakat agar mampu merawat penderita jiwa tanpa harus kehilangan produktivitasnya. Selain merawat juga harus mmpu mencegah terjadinya gangguan jiwa baru dari masyarakat yang beresiko dengan penanganan yang tepat,” tandasnya.
Mengenai penetapan Desa Banaran sebagai DSSJ, Rochana menyatakan, karena desa tersebut memiliki jumlah penderita gangguan jiwa yang cukup tinggi. Dicontohkan, untuk Peduuhan Kenteng dengan jumlah penduduk 200 jiwa terdapat 7 penderita gangguan jiwa berat (psikotik) dan 52 penderita gangguan jiwa ringan (neurotis).
“Untuk pelaksanaannya kami telah mengadakan sosialisasi kepada masyarakat serta memberikan pelatihan bagi petugas Puskesmas dan kader kesehatan. Diharapkan masyarakat akan bertambah wawasan, kepedulian dan kemampuannya dalam menangani gangguan jiwa di desa setempat,” harap Rochana.
Sementara Mulyono mengharapkan agar masyarakat meningkatkan kesadarannya dalam turut menangani kasus penderita jiwa secara mandiri. Terutama bagi penderita di lingkungan keluarga. Karena biasanya keluarga merasa malu bila ada anggotanya yang terkena gangguan jiwa, sehingga segan untuk berobat.
“Bila masing-masing keluarga tahu dan sadar perlunya pengobatan, maka rasa malu itu akan hilang. Sehingga penderita akan mendapat pengobatan yang diperlukan dan kemudian sembuh,” tuturnya.