18 Januari, 2008

SURAN KYAI DARUNO DARUNI BUGEL PANJATAN


ADAT SURAN PETILASAN KYAI DARUNO DARUNI BUGEL
Warga Rebutan Gunungan Dan Tumpeng
Upacara tradisi suran yang digelar warga desa Bugel Kecamatan Panjatan, Jum’at (18/1) berlangsung meriah. Ratusan warga hadir di kompleks cikal bakal desa, Petilasan Kyai Daruno Daruni di Pedukuhan X Bugel untuk menyaksikan jalannya upacara. Dalam kesempatan tersebut sekaligus diresmikan gapura pintu masuk petilasan hasil swadaya warga.
Prosesi suran dimulai dengan kirab yang diawali dihalaman masjid Hidayattulah berupa tumpeng gunungan hasil bumi dan tumpeng serta group kesenian dari warga masyarakat menuju lokasi petilasan Kyai Daruna Daruni yang berjarak sekitar satu kilometer. Usai kirab dilakukan kenduri dan makan bersama oleh pengunjung, termasuk Wakil Bupati Drs.H.Mulyono dan segenap pejabat pemkab.
Menurut Kepala Desa Bugel, Edy Priyana adat sadranan ini dilakukan setiap tahun oleh warga dengan mengambil bulan Sura hari Selasa Kliwon atau Jum’at Kliwon yang disesuaikan bulan yang bersangkutan. Pada pelaksanaan kali ini sesuai dengan bulan Suro jatuh pada hari Jum’at Kliwon.”Kegiatan ini untuk melestarikan adat budaya masyarakat sekaligus filter pengaruh dari budaya asing,”ungkap Priyana.
Tradisi Suran menurut Priyana, dilakukan agar warga desa Bugel selalu mendapatkan kesehatan, makmur terhindar dari musibah bencana, yang biasanya adalah banjir.
Menurut cerita, terang Priyono, Kyai Daruno Daruni adalah seorang pejuang pengawal Pangeran Diponegoro dari Kerajan Mataram yang mengadakan perlawanan terhadap penjajah Belanda antara tahun 1825 -1830. Saat melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda, para pendukung Pangeran Diponegoro berpencar ke seluruh pelosok desa, gunung dan rawa yang dimungkinkan agar pasukan penjajah Belanda sulit mengejar keberadaannya, termasuk Kyai Daruno Daruni yang menyingkir ke tanah rawa-rawa sambil terus melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda.
Menurut Kepala Desa Bugel itu, Tempat menyingkir Kyai Daruno Daruni ini sekarang bernama Gumuk Landeyan, yang berada tepat di depan rumah Suradi yang merupakan cucu dari Mangun Wiyono yang merupakan pengikut Kyai Daruno Daruni di Pedukuhan X Beran , Desa Bugel. Di tempat itulah Kyai Daruno Daruni menyimpan benda pusaka berupa Tumbak beserta landeannya dengan cara ditimbun rumput dan Lumpur rawa yang gembur.
Dikatakan, seiring dengan perjalanan waktu petilasan tempat menyimpan senjata tombak beserta landeannya oleh warga masyarakat setempat dijadikan tempat kenangan bersejarah yang dilestarikan dan ditanami pohon Asem.
Sedangkan kata Bugel menurut Priyana, diambilakan dari cerita bahwa pada waktu yang silam ada kejadian aneh yakni saat membuka hutan Ngangrangan terdapat pohon besar yang telah lapuk bagian rantingnya sehingga tinggal batang bagian bawahnya. Pohon tersebut ditebang namun tidak bisa dimanfaatkan untuk kayu baker. Dibakar berkali-kali tidak terbakar sehingga diganti namanya menjadi Bugel yang dalam bahasa jawa adalah sebutan benda keras yang kebal terhadap senjata tajam.