Kebijakan Sistem Irigasi Masih Tereduksi Kepentingan Politik
Di Indonesia, kebijakan tentang sistem irigasi masih tereduksi oleh kepentingan politik. Seperti yang terjadi pada perubahan dari Pembaruan Kebijakan Pengelolaan Irigasi (PKPI) ke Pengembangan dan Pengelolaan Sistem Irigasi Partisipatif (PPSIP) yang saat ini diberlakukan pemerintah. Perubahan ini ditengarai karena adanya kepentingan politik yang berorientasi pasar, beralih ke mobilisasi masyarakat.
Demikian dikatakan dosen Fakultas Teknologi Pertanian UGM Yogyakarta Dr Ir Sigit Supadmo Arif saat menjadi narasumber pada sosialisasi PPSIP yang digelar oleh Bappeda Provinsi DIY, Sabtu (28/6) di Pusat Penyelamatan Satwa Jogjakarta (PPSJ) Pengasih. Selain Sigit, narasumber yang tampil adalah Sekretaris Bappeda DIY Ir Hastungkoro dan Kasubdin Pengairan pada Dinas Pu Kulon Progo Ir Agus Wikanto. Acara itu diikuti oleh Ketua Komisi I DPRD Kulon Progo Thomas Kartaya, Wakil Ketua Komisi III Humam Turmudzi, SH, camat se Kulon Progo dan pengurus Gabungan Perkumpulan Petani Pemakai Air (GP3A).
Orientasi pasar, tambah Sigit, dilakukan karena ada dorongan dari lembaga donor, yakni IMF. Namun karena sekarang ada keharusan untuk meningkatkan produksi guna mengejar peningkatan ketahanan pangan, masyarakat dimobilisasi melalui kebijakan PPSIP yang berlandaskan pada Peraturan Pemerintah (PP) Irigasi nomor 20 tahun 2006. Dimana petani diminta berpartisipasi dalam beberapa pengelolaan sarana irigasi, namun sebagian haknya diambil oleh pemerintah.
“Ini cukup ironis, karena PKPI yang belum berjalan lama sudah diganti dengan kebijakan baru yang lebih sentralistik. Kasihan para petani karena hanya menjadi obyek pembangunan yang berlatar belakang kepentingan politik,” tandas Sigit.
Lebih jauh Sigit meyatakan, sangat sulit untuk menilai, lebih efektif mana PPKPI dengan PPSIP karena penilaiannya memerlukan studi yang memakan waktu panjang. Namun demikian dia menandaskan, bahwa idealnya tanggung jawab pengelolaan irigasi ada di tangan pemerintah. Masyarakat hanya sebatas memberikan masukan sebagai bahan pembuatan kebijakan.
“Sejak dulu saya menentang bila petani juga berkewajiban untuk membiayai pengelolaan sarana irigasi melalui pungutan Iuran Pemakaian Air Irigasi (IPAIR). Namun ketentuan itu tetap dilaksanakan. Dulu IPAIR di Kulon Progo bisa mencapai hampir 100 persen, namun sekarang turun drastis,” tukas Sigit tanpa menyebut angka penurunan.
Sedang Hastungkoro menyatakan, tujuan pelaksanaan PPSIP adalah untuk mewujudkan kemanfaatan air dalam bidang pertanian yang diselenggarakan secara partisipatif. Pelaksanaannya dilakukan dengan berbasis pada peran serta masyarakat petani yang meliputi P3A, GP3A dan IP3A.
Wewenang pengelolaan sistem irigasi, tambahnya, untuk Daerah Irigasi (DI) dengan luas lebih dari 3.000 ha menjadi wewenang Pemerintah Pusat. DI dengan luas 1.000 – 3.000 ha wewenang Pemerintah Provinsi dan di bawah luasan 1.000 ha menjadi tanggung jawab Pemerintah Kabupaten/Kota.
“Partisipasi masyarakat melalui P3A, GP3A serta IP3A dalam kegiatan pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi primer dan sekunder berdasarkan prinsip suka rela dengan berdasar hasil musyawarah mufakat. Kemudian tergantung pada kebutuhan, kemampuan dan kondisi sosial ekonomi serta budaya petani setempat, dan bukan bertujuan untuk mencari keuntungan,” jelasnya.
Sementara, menurut Agus Wikanto, luas lahan irigasi di Kulon Progo mencapai 10.292 ha. Yang meliputi DI Kalibawang 7.152 ha menjadi wewenang Pemerintah Pusat, DI Sapon 1.900 ha wewenang Pemprov DIY dan 52 DI seluas 1.240 menjadi wewenang Pemkab.
Di Indonesia, kebijakan tentang sistem irigasi masih tereduksi oleh kepentingan politik. Seperti yang terjadi pada perubahan dari Pembaruan Kebijakan Pengelolaan Irigasi (PKPI) ke Pengembangan dan Pengelolaan Sistem Irigasi Partisipatif (PPSIP) yang saat ini diberlakukan pemerintah. Perubahan ini ditengarai karena adanya kepentingan politik yang berorientasi pasar, beralih ke mobilisasi masyarakat.
Demikian dikatakan dosen Fakultas Teknologi Pertanian UGM Yogyakarta Dr Ir Sigit Supadmo Arif saat menjadi narasumber pada sosialisasi PPSIP yang digelar oleh Bappeda Provinsi DIY, Sabtu (28/6) di Pusat Penyelamatan Satwa Jogjakarta (PPSJ) Pengasih. Selain Sigit, narasumber yang tampil adalah Sekretaris Bappeda DIY Ir Hastungkoro dan Kasubdin Pengairan pada Dinas Pu Kulon Progo Ir Agus Wikanto. Acara itu diikuti oleh Ketua Komisi I DPRD Kulon Progo Thomas Kartaya, Wakil Ketua Komisi III Humam Turmudzi, SH, camat se Kulon Progo dan pengurus Gabungan Perkumpulan Petani Pemakai Air (GP3A).
Orientasi pasar, tambah Sigit, dilakukan karena ada dorongan dari lembaga donor, yakni IMF. Namun karena sekarang ada keharusan untuk meningkatkan produksi guna mengejar peningkatan ketahanan pangan, masyarakat dimobilisasi melalui kebijakan PPSIP yang berlandaskan pada Peraturan Pemerintah (PP) Irigasi nomor 20 tahun 2006. Dimana petani diminta berpartisipasi dalam beberapa pengelolaan sarana irigasi, namun sebagian haknya diambil oleh pemerintah.
“Ini cukup ironis, karena PKPI yang belum berjalan lama sudah diganti dengan kebijakan baru yang lebih sentralistik. Kasihan para petani karena hanya menjadi obyek pembangunan yang berlatar belakang kepentingan politik,” tandas Sigit.
Lebih jauh Sigit meyatakan, sangat sulit untuk menilai, lebih efektif mana PPKPI dengan PPSIP karena penilaiannya memerlukan studi yang memakan waktu panjang. Namun demikian dia menandaskan, bahwa idealnya tanggung jawab pengelolaan irigasi ada di tangan pemerintah. Masyarakat hanya sebatas memberikan masukan sebagai bahan pembuatan kebijakan.
“Sejak dulu saya menentang bila petani juga berkewajiban untuk membiayai pengelolaan sarana irigasi melalui pungutan Iuran Pemakaian Air Irigasi (IPAIR). Namun ketentuan itu tetap dilaksanakan. Dulu IPAIR di Kulon Progo bisa mencapai hampir 100 persen, namun sekarang turun drastis,” tukas Sigit tanpa menyebut angka penurunan.
Sedang Hastungkoro menyatakan, tujuan pelaksanaan PPSIP adalah untuk mewujudkan kemanfaatan air dalam bidang pertanian yang diselenggarakan secara partisipatif. Pelaksanaannya dilakukan dengan berbasis pada peran serta masyarakat petani yang meliputi P3A, GP3A dan IP3A.
Wewenang pengelolaan sistem irigasi, tambahnya, untuk Daerah Irigasi (DI) dengan luas lebih dari 3.000 ha menjadi wewenang Pemerintah Pusat. DI dengan luas 1.000 – 3.000 ha wewenang Pemerintah Provinsi dan di bawah luasan 1.000 ha menjadi tanggung jawab Pemerintah Kabupaten/Kota.
“Partisipasi masyarakat melalui P3A, GP3A serta IP3A dalam kegiatan pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi primer dan sekunder berdasarkan prinsip suka rela dengan berdasar hasil musyawarah mufakat. Kemudian tergantung pada kebutuhan, kemampuan dan kondisi sosial ekonomi serta budaya petani setempat, dan bukan bertujuan untuk mencari keuntungan,” jelasnya.
Sementara, menurut Agus Wikanto, luas lahan irigasi di Kulon Progo mencapai 10.292 ha. Yang meliputi DI Kalibawang 7.152 ha menjadi wewenang Pemerintah Pusat, DI Sapon 1.900 ha wewenang Pemprov DIY dan 52 DI seluas 1.240 menjadi wewenang Pemkab.