31 Mei, 2008

Glagah Kekurangan Tenaga Pemetik Cabe

Memasuki masa panen cabe merah di lahan pesisir, Desa Glagah, Kecamatan Temon kekurangan tenaga pemetik. Untuk memenuhinya, petani harus mendatangkan tenaga kerja dari luar desa atau bahkan dari luar daerah. Pada saat puncak panen raya, yang diperkirakan akan terjadi pada akhir bulan Juni mendatang, kekurangan tenaga kerja akan mencapai tidak kurang dari 500 orang.
Demikian dikatakan Kepala Bagian (Kabag) Pembangunan Pemerintah Desa Glagah Sujarwo di sela-sela pelaksanaan panen perdana cabe merah di Pedukuhan Bebekan, Desa Glagah. Panen perdana dilakukan oleh petani setempat dan dihadiri oleh Wakil Ketua II DPRD Drs Sudarta, Assek II Setda Ir Agus Anggono, Kepala Dinas Perindagkoptam Drs H Darto MM, Kasubdin TPH Dinas Pertanian Ir Bambang Tri Budi Harsono, Ketua DPD Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) DIY Dr Widodo, MSc serta Penasehat DPD HKTI DIY Drs Gandung Pardiman MM.
Kekurangan tenaga tersebut, tambah Jarwo, disebabkan luasnya lahan yang panen secara bersamaan. Tahun ini, kata dia, luas lahan cabe di Glagah mencapai sekitar 170 ha. Sehingga jumlah tenaga kerja yang diperlukan memang cukup banyak dalam waktu bersamaan, katanya.
Dikatakan, tanaman cabe yang sekarang panen adalah hasil penanaman 5 Maret lalu. Saat itu petani sepakat penanaman dilakukan secara serentak, sehingga masa panennya pun bersamaan pula. “Sekarang sudah banyak warga luar desa yang mejadi tenaga petik di sini. Bahkan ada 60 wanita Boyolali yang nginap di Glagah untuk menjadi tenaga pemetik,” ujar Jarwo setaya menambahkan bahwa tenaga pemetik cabe kebanyakan adalah kaum perempuan.
Menyinggung masalah harga, bapak 2 anak itu menyatakan, saat ini berkisar antara Rp. 9.000,- hingga Rp. 10.000,- per kilogram. Harga cabe, kata dia, sangat fluktuatif, bahkan setiap jam bisa berubah, tergantung harga pasar di Jakarta. “Kalau hasil lelang tadi malam mencapai Rp. 9.800, padahal siang harinya hanya Rp. 9.500,- dan 2 hari lalu di atas Rp. 10.000,-,” tambahnya.
Menurut petani yang menanam cabe seluas 1 ha itu, sebagian besar petani Glagah telah menjual cabe di tempat pelelangan. Karena dinilai lebih menguntungkan petani dibanding menjual ke pengepul. Para pengepul biasanya membeli cabe lebih rendah dibanding pedagang di pelelangan.
“Di Glagah ada 5 tempat pelelangan cabe yang setiap hari didatangi pedagang dari berbagai daerah, seperti Semarang, Temanggung, Muntilan dan Purwokerto. Dengan sistem lelang tertutup petani bisa mendapat harga hampir sama dengan Jakarta, bahkan bisa lebih tinggi,” katanya.
Petani lain, Sriyanto (40) menyatakan, panen cabe di lahan pantai Kulon Progo akan berlangsung sampai bulan Oktober-Nopember mendatang. Itu kalau harga relatif bagus seperti saat ini. “Patokan kami harga perkilogram Rp. 6.000,- sama dengan harga premium. Kalau harga di atas itu petani akan terus memelihara tanamannya sampai sekitar 55 kali petik. Namun kalau harga di bawahnya masa panen akan lebih pendek karena petani segan memelihara tanamannya,” terang Sriyanto.
Menurutnya, tinggi rendahnya harga cabe di Kulon Progo masih dipengaruhi masa panen penghasil cabe daerah lain. Kebetulan saat ini sentra-sentra cabe seperti Lampung, Demak dan Jepara belum panen sehingga harganya relatif tinggi.
Namun kalau toh sudah panen Sriyanto berharap tidak akan membuat harga anjlok. “Asal masih di atas Rp. 6.000,- itu kami nilai masih bagus dan petani bisa untung,” tandasnya.

Semagat Gotong Royong Jangan Sampai Luntur

Wakil Bupati Kulon Progo Drs H Mulyono mengingatkan agar semangat gotong royong sampai luntur atau dilupakan masyarakat. Sebab semangat ini telah terbukti sangat efektif dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat Indonesia. Contoh konkretnya adalah terjadi gempa di DIY dan sekitarnya 2 tahun lalu. Proses recavery bisa dilakukan dengan cepat karena masyarakat mengedepankan semangat gotong royong.
Hal itu diungkapkan Wabup saat dilakukan pancanangan Bulan Bhakti Gotong Royong Masyarakat (BBGRM) V tingkat Kabupaten Kulon Progo, Kamis (29/5) di balai desa Karangwuluh, Kecamatan Temon. Pencanangan dilakukan dengan pemukulan kentongan oleh Wabup. Hadir pada acara tersebut jajaran Muspida, segenap pejabat pemkab, kepala desa se Kecamatan Temon dan tokoh masyarakat setempat.
Dalam pelaksanaan pembangunan, tambah Mulyono, gotong royong akan dapat meningkatkan akselerasi pembangunan. Sebab, berbagai kekuatan dan potensi masyarakat akan terintegrasi dalam proses tersebut. “Inilah salah satu warisan nenek moyang kita yang harus terus kita lestarikan,” tandasnya.
Lebih jauh Wabup mengatakan, gerakan nasional BBGRM didasari beberapa pertimbangan. Antara lain untuk memperkuat integrasi sosial dalam kehidupan masyarakat sehingga tercipta keharmonisan yang akan bermuara pada pengeuatan persatuan bangsa dan kokohnya NKRI. Kemudian meningkatkan kepedulian dan peran aktif masyarakat agar lebih memiliki tanggung jawab dalam meleksanakan, memanfaatkan dan melestarikan hasil-hasil pembangunan.
“Yang paling penting adalah sebagai upaya pemberdayaan masyarakat agar mampu membangun diri dan lingkungan secara mandiri,” tegas Mulyono.
Menurut Plt Kepala Dinas Dukcapilkabermas Drs Sutedjo Wiharso, BBGRM V tahun 2008 ini dilaksanakan bersama dengan Hari Keluarga Nasional (Harganas) XV. Kegiatan dilaksanakan secara serentak di setiap desa selama 1 bulan penuh. Dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat, seperti TP PKK, Karang Taruna, RT/RW dan LPMD.
Dikatakan, sasaran kegiatan meliputi bidang kemasyarakatan, ekonomi, sosial budaya dan lingkungan. “Untuk mendukung pelaksanaan kegiatan ini, Bupati dan kepala dinas instansi terkait akan melakukan kunjungan kerja di setiap kecamatan,” imbuhnya.