16 Juni, 2008

Empat Raperda Desa Ditetapkan Menjadi Perda

Empat Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang desa disetujui untuk ditetapkan menjadi Perda dalam rapat paripurna DPRD Kulon Progo, Jumat (13/6) di gedung dewan setempat. Empat Raperda tersebut adalah tentang Kedudukan Keuangan Kepala Desa, Sekretaris Desa non PNS dan Perangkat Desa Lainnya, Badan Usaha Milik Desa, Kerjasama Desa serta Lembaga Kemasyarakatan Desa.

Dalam rapat paripurna yang dipimpin oleh Ketua DPRD Drs H Kasdiyono dan dihadiri oleh Bupati H Toyo Santoso Dipo serta segenap pejabat pemkab tersebut 6 fraksi setuju dengan penetapan ke-4 Raperda. Semua fraksi secara umum mengharapkan agar penetapan 4 raperda dapat meningkatkan kualitas pelayanan perangkat desa dan peningkatan pemberdayaan masyarakat desa.

Namun demikian dalam pendapat akhirnya masing masing fraksi menyampaikan hal yang bneragam. Seperti Fraksi PDIP, dengan juru bicara Longgar Muji Raharjo BA, mengharapkan agar Tunjangan Pendapatan Aparat Pemerintah Desa (TPABD) bisa diserahkan setiap bulan, tidak tri wulan seperti yang dilakukan saat ini. Diharapkan pula, untuk desa karangkopek (desa yang tidak memiliki tanah lungguh) yang ada di Kecamatan Kokap mulai tahun 2009 nanti ada penambahan kesejahteraan bagi perangkat desa meelalui APBD.

“FPDIP juga berharap agar pengisian sekretaris desa oleh PNS segera ditindaklanjuti karena merupakan amanat Undang-Undang dan teknis pelaksanaanya sudah ada. Sedang pendapatan sekdes non PNS dari tanah bengkok karena statusnya berubah menjadi PNS maka tanah lungguhnya diubah menjadi kas desa,” pinta Longgar.

Melalui juru bicaranya Drs Risman Susandi, FPAN menilai bahwa saat ini masih ada ketimpangan pendapatan cukup signifikan bagi perangkat desa yang punya tanah lungguh dengan desa karangkopek. Perangkat desa karangkopek hanya mempunyai 1 sumber pendapatan dari TPABD sementara yang non karangkopek punya TPABD sekaligus tanah lungguh.

“Sebagai contoh, penghasilan kepala desa karangkopek sebesar Rp. 1.250.000 perbulan. Sedang kades non karangkopek Rp. 900.000,- ditambah 6 bagian tanah lungguh. Untuk staf desa karangkopek Rp. 530.000,-, sementara non karangkopek Rp. 350.000,- plus 2 bagian tanah lungguh,” terang Risman.

Dalam pendapat akhirnya Toyo menyatakan, penghasilan kedudukan keuangan perangkat desa karangkopek berkait dengan perbandingannya diatur dengan Peraturan Bupati (Perbup) berdasar Perda ini. Alasan tidak diatur perbandingannya dalam Perda seperti halnya desa non karangkopek karena kenaikan angka perbandingan desa non karangkopek berimplikasi signifikan terhadap APBD. “Kebijakan ini perlu kami sampaikan karena keberadaan 85 desa non karangkopek yang cukup majemuk,” tandas Toyo.

Ditambahkan, selain penghasilan pokok, kades, sekdes non PNS dan perangkat desa lainnya juga mendapat tunjangan suami/istri, anak dan tunjangan kesehatan. Sedang pengaturan tentang tunjangan purna tugas sama dengan tanah lungguh. Yaitu bersumber dari tanah pengarem-arem bagi desa non karangkopek dan bagi desa karangkopek bersumber dari APBD, katanya.

PDIP Kembangkan Padi Jenis MSP

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) secara nasional mengembangkan tanaman padi lokal jenis Mari Sejahterakan Petani (MSP). Jenis padi yang pertama kali ditemukan oleh warga Bogor bernama Surono Sunu itu memiliki kelebihan dibanding varitas lain yang saat ini banyak ditanam petani. Antara lain, bulirnya lebih banyak dan nasinya lebih gurih.

Untuk mensosialisasikan kepada masyarakat Kulon Progo, padi jenis MSP telah ditanam di bulak Boto, Desa Kembang, Kecamatan Nanggulan sebagai lahan percontohan. Di bulak itu petani menanam padi di lahan seluas 3,2 ha pada awal bulan Maret lalu. Dan saat ini telah memasuki masa panen.

Panen perdana dan wiwit untuk menandai dimulainya masa panen, dilakukan dengan cukup meriah. Acara itu dihadiri Anggota Komisi II DPR RI Edi Mihati, Bupati H Toyo Santoso Dipo, Wakil Ketua II DPRD Drs Sudarta, Kadis Pertanian dan Kelautan Ir Agus Langgeng Basuki, Camat Nanggulan Drs L Bowo Pristianto, Kades dan Perangkat Desa Kembang, Ketua DPC PDI Kulon Progo Zuharsono Ashari dan jajaran pengurus serta petani setempat.

Menurut Edi, pengembangan padi MSP merupakan upaya PDIP untuk mencukupi kebutuhan beras bagi masyarakat, sekaligus untuk meningkatkan pendapatan petani. Bibit padi MSP, kata dia, tidak dipasarkan secara umum. Namun akan diberikan secara cuma-cuma kepada petani melalui jalur pengurus PDIP di tingkat cabang dan ranting.

Program ini, imbuhnya, bukan semata-mata untuk kampanye partai. Tetapi memiliki tujuan yang lebih luas dan mendasar yakni untuk meningkatkan ketersediaan pangan dan kesejahteraan wong cilik. “Secara pribadi saya akan membantu bibit untuk penanaman 5 ha bagi petani Kulon Progo,” janjinya.

Bupati Toyo pun tak mau kalah. Orang nomor 1 di Kulon Progo tersebut akan membeli hasil panen berkualitas bibit sebanyak 1,5 ton dari petani Boto untuk dibagikan kepada masyarakat. Yang akan dibantu bukan hanya anggota PDIP saja namun semua petani di Kulon Progo, tandasnya.

Toyo menilai, nasi MSP memang lebih enak dibanding jenis beras lain, seperti IR 64. Dan melihat hasil panen di bulak Boto, jenis padi ini cocok ditanam di Kulon Progo. Oleh karenanya Pemkab akan membantu memfasilitasi pengembangannya.

Menurut warga setempat Heri Joko Budiyanto, dari hasil ubinan yang telah dipanen tingkat produktivitas padi MSP mencapai 10,5 ton perhektar. Hasil itu masih di bawah daerah lain seperti Bogor yang mencapai 18 ton/ha, Jember 16 ton/ha dan Klaten 12 ton/ha.

Penyebabnya, petani di Boto masih menggunakan teknik penanaman secara tradisional. Padahal jenis ini memerlukan teknik khusus sesuai dengan aturan yang memang berbeda dengan cara penanaman yang biasa digunakan petani Nanggulan dan sekitarnya.

“Bila pengelolaan dilakukan dengan benar, padi MSP bisa dipanen 3 kali. Singgangnya dapat tumbuh dan berbuah sampai tingkat kedua, dengan usia panen sekitar 65 hari,” terangnya.