28 Agustus, 2008

tradisi


WARGA PEDUKUHAN KALANGAN
Menggelar Tayub Sebagai ‘Tolak Bala’

Bagi warga Pedukuhan Kalangan, Desa Bumirejo, Kecamatan Lendah, menggelar kesenian tayub merupakan tradisi tahunan yang sudah dilakukan sejak jaman dulu. Bukan hanya sebagai hiburan semata. Namun merupakan ritual ‘tolak bala’ untuk menghindari berjangkitnya berbagai jenis penyakit.
Tahun ini tradisi itu dilaksanakan Kamis (28/8) di kompleks makam Kemuning, yang merupakan makam cikal bakal warga Kalangan, Nyi Ebrek. Sebelumnya kesenian tayub digelar, dilakukan kirap sesaji berupa nasi uduk, ‘ingkung’ dan jajan pasar dari rumah dukuh setempat, Sri Hastuti. Kemudian dilakukan doa oleh sesepuh pedukuhan Ny. Pujo Suwito di cungkup makam Nyi Ebrek.
Selain sesaji, di cungkup makam terkumpul 48 uba rampe dari warga yang melepas nadar karena keinginanya telah terkabul. Uba rampe juga berupa nasi uduk, ingkung dan jajan pasar dengan wadah pengaron (Jw : tempayan) berukuran sedang. Usai pergelaran tayub uba rampe tersebut dibagikan kepada warga yang hadir.
Menurut salah seorang sesepuh warga Kalangan, Noto Suwarno (70), Nyi Ebrek adalah seorang tokoh sakti yang berasal dari keluarga kraton Mataram. Suatu saat, karena berkonflik dengan keluarga kraton ia pergi dari lingkungan karaton dan hidup mengembara.
Selain sakti, tutur Noto, Nyi Ebrek juga punya kemampuan untuk menyembuhan berbagai penyakit. Dalam pengembaraannya itu Nyi Ebrek berupaya untuk meningkatkan kemampuan dan kesaktiannya dengan bertapa di Pandan Segegek, sebuah tempat keramat di pantai selatan Kulon Progo.
“Setelah bertapa dan ilmunya semakin tinggi, Nyi Ebrek kemudian menetap di Desa Kalangan. Ia mampu menyembuhkan berbagai penyakit, dan kemudian menjadi tabib terkenal. Banyak warga dari desa lain yang terkena penyakit berat datang berobat kepadanya, dan bisa disembuhkan,” papar Noto.
Dikatakan Noto, selain pandai mengobati penyakit, Nyi Ebrek mempunyai kegemaran untuk nanggap ledhek (tayup). Pada waktu-waktu sengang ia sering memerintahkan pembantunya, Ki Bagus Sugiman, untuk mengundang penari tayub. “Saat akan meninggal ia berpesan kepada warga Kalangan agar kegemarannya untuk nanggap tayub itu dilestarikan. Kalau tidak, warga akan terkena pagebluk berupa berjangkitnya berbagai jenis penyakit,” katanya.
Sejak saat itu, ujar Noto, secara rutin warga Kalangan melaksanakan tradisi nanggap tayub setiap tahun. Waktunya setiap tanggal 25 bulan Ruwah, sesuai kebiasaan Nyi Ebrek. Namun sejak kapan tradisi itu mulai dilakukan, Noto mengaku tidak tahu. “Tidak ada warga yang tahu. Setahu saya sejak jaman simbah tradisi tayub sudah ada,” katanya.
Menurut warga lain, R Supadyo (45), pada malam Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon di makam Kemuning sering ada warga yang nenepi dengan tujuan agar cita-citanya terkabul. Yang nenepi, kata dia, bukan hanya warga Kalangan saja namun juga dari luar desa, bahkan ada yang dari luar daerah. Keperluannnya bermacam-macam, ada yang minta diberi keselamatan, penyakitnya sembuh, agar mendapat pekerjaan dan lain-lain.
“Kebanyakan yang nenepi di sini kemauannya bisa terkabul. Terbukti mereka kemudian menyerahkan uba rampe sebagai wujud untuk melepas nadar,” imbuhnya.

Tidak ada komentar: